Skip to main content

Membeli Surga dengan Jihad

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Aquran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar (TQS al-Taubah [9]: 111).

Dalam Islam, jihad di jalan Allah memiliki kedudukan istimewa. Cukup banyak nash yang memerintahkan kaum Muslim untuk berjihad, baik dengan jiwa maupun harta. Demikian pula dengan keutamaannya di sisi Allah. Bagi pelakunya yang ikhlas semata mencari ridla-Nya dijanjikan dengan balasan amat menggiurkan, yakni surga. Ayat ini adalah salah satu di antaranya yang menjelaskan keutamaan jihad itu.
Dibeli dengan Surga
Allah Swt berfirman: Innal-Lâh [i]sytarâ min al-Mukminîn anfusahum wa amwâlahum (sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka). Secara bahasa, kata al-syarâ’ berarti al-mubâdalah (tukar-menukar). Dijelaskan al-Asfahani, kata al-musytarî’ (pembeli) menunjuk kepada orang yang memberikan harga dan mengambil barangnya. Sebaliknya orang yang mengambil harga dan memberikan barangnya disebut al-bâi’ (penjual). Akan tetapi, kedua kata itu bisa saling menggantikan, terutama ketika tukar menukar terjadi pada barang dengan barang.
Dalam konteks ayat ini, kata al-syarâ’ bukan bermakna hakiki. Sebab, aktivitas jual beli itu sesungguhnya tidak terjadi. Sebagaimana dipaparkan al-Samarqandi dalam Bahr al-‘Ulûm, penggunaan kata al-syarâ’ dalam ayat ini hanya dari segi permisalan saja. Pasalnya, seluruh harta dan jiwa adalah milik Allah SWT. Dialah yang menciptakan jiwa dan memberikan harta kepada manusia. Bagi pemegangnya, semua itu hanya pinjaman belaka. Oleh karena itu, yang diinginkan ayat ini adalah dorongan dan motivasi untuk berjihad. Ungkapan seperti ini juga digunakan ketika mendorong manusia untuk berinfak di jalan-Nya dalam firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak (TQS al-Baqarah [2]: 245).
Penggunaan kata al-syarâ’ juga memberikan makna tentang kepastian balasan yang akan diberikan Allah SWT kepada kaum Mukmin yang telah mengorbankan jiwa dan hartanya. Balasan atas pengorbanan mereka adalah: bi anna lahum al-jannah (dengan memberikan surga untuk mereka). Surga menjadi tempat tinggal mereka di akhirat kelak. Ungkapan bi anna lahum al-jannah, menurut al-Alusi dalam Rûh al-Ma’ânî, memberikan penegasan ketetapan sampainya al-tsaman (harga yang dibayarkan) kepada mereka. Dikhususkannya ‘harga’ itu kepada mereka seolah-olah dikatakan: dengan surga yang telah ditetapkan untuk mereka, dikhususkan untuk mereka. Menurutnya, ungkapan ini lebih tegas dibandingkan jika digunakan bi al-jannah.
Dalam frase sebelumnya kemudian disebutkan: yuqâtilûna fî sabîlil-Lâh (mereka berperang pada jalan Allah). Menurut al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr, frase ini menjadi bayân (penjelasan) mengenai penjualan yang mengharuskan adanya pembelian tersebut. Seolah-olah ketika ditanyakan: bagaimana mereka menjual jiwa dan harta mereka? Lalu dijawab: mereka berperang di jalan Allah.
Peperangan di jalan Allah kemudian dijelaskan dengan firman-Nya: fayaqtulûna wa yuqtalûna (lalu mereka membunuh atau terbunuh). Sebagaimana dipaparkan al-Jazairi, yaqtulûna di sini adalah membunuh musuh-musuh Allah yang musyrik. Sedangkan wayuqtalúna berarti mereka gugur di medan pertempuran. Menurut ayat ini, baik membunuh musuh-musuh Allah SWT, terbunuh oleh mereka, atau kedua-duanya, semuanya dijanjikan masuk surga. Didahulukannya pelaku pembunuhan (yaqtulúna) dibandingkan sebagai objek pembunuhan (yuqtalûna) bisa memberikan pengertian bahwa itulah yang harus dikerahkan oleh kaum Muslim ketika berperang di jalan Allah. Mereka harus berusaha keras membunuh dan mengalahkan musuh-musuh Allah SWT sekalipun harus mempertaruhkan nyawa mereka.
Berkenaan dengan jaminan Allah SWT kepada mujahid dengan surga juga disampaikan Rasulullah SAW, dengan sabdanya: "Allah menjamin bagi orang yang berperang di jalan-Nya, tidak ada yang mendorongnya keluar kecuali karena ingin jihad di jalan-Ku, ia iman dengan Aku dan membenarkan para rasul-Ku, maka Aku menjamin akan memasukkannya ke dalam surga atau mengembalikannya pulang ke rumahnya dengan membawa kemenangan berupa pahala dan ghanimah (HR Muslim)
Kepastian Janji Allah
Allah SWT berfirman: wa’d[an] ‘alayhi haqq[an] fî al-Tawrah wa al-Injîl wa al-Qur’ân ([itu telah menjadi] janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Alquran). Dipaparkan Ibnu Katsir bahwa frase ini merupakan penegasan tentang kebenaran janji Allah tersebut sekaligus pemberitaan bahwa Dia telah menuliskannya dan menurunkannya kepada para rasul-Nya dalam kitab-kitab-Nya yang besar, seperti Taurat, Injil, dan Alquran. Disebutkannya janji itu dalam kitab-kitab sebelumnya menunjukkan bahwa keutamaan berjihad tidak hanya termaktub dalam Alquran, namun juga terdapat dalam kitab-kitab samawi tersebut. Bahkan menurut al-Nasafi dan Ibnu al-Jauzi, ini menjadi dalil bahwa semua pemeluk agama Allah juga diperintahkan untuk berperang dan dijanjikan dengan surga.
Penegasan janji Allah kian dikukuhkan dengan firman-Nya: waman awfâ bi’ahdihi minal-Lâh (dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?). Mengingkari janji merupakan perbuatan tercela. Bentuk istifhâm dalam frase ini, sebagaimana dikemukakan al-Jazairi, bermakna nafî (menegasikan). Artinya, tidak ada seorang pun secara mutlak yang lebih memenuhi janjinya ketika berjanji dibandingkan dengan Allah. Dalam ayat lain, juga ditegaskan: Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah (TQS al-Nisa’ [4]: 87).
Dalam frase berikutnya pun disebutkan: fa[i]stabsyirû bibay’ikum al-ladzî bâya’tum (maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu). Menurut al-Nasafi, frasa ini bermakna fa[i]frahû bihi ghâyah al-farah fainnakum tabî’ûna fâniy[an] bi bâq  (bergembiralah denganya hingga puncak kegembiraan karena kalian telah menjual yang fana dengan yang kekal).
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: wadzâlika huwa al-fawz al-’azhîm (dan itulah kemenangan yang besar). Surga jelas merupakan balasan yang amat besar dibandingkan dengan amal yang dikerjakan. Kehilangan harta dan jiwa mungkin bisa membuat manusia sedikit menderita. Tetapi itu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan besarnya balasan yang bakal diterima, yakni surga. Tempat yang dipenuhi dengan aneka ragam puncak kenikmatan. Kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengarkan telinga, dan tidak terbayangkan oleh pikiran manusia. Oleh karena itu, pelakunya jelas telah mendapatkan kemenangan dan keuntungan yang besar. Penyebutan surga sebagai al-fawz al-‘azhîm juga terdapat dalam QS al-Nisa [4]: 13, al-Maidah [5] 119, al-Taubah [9]: 72, 78, dll.
Janji Allah itu bukan hanya diberikan kepada kaum Muslim yang berjihad. Janji yang sama juga disampaikan kepada kaum Muslim yang menjalankan ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Hal ini ditegaskan dalam ayat berikutnya: Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat (berpuasa), yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu (TQS al-Taubah [9]: 112).
Janji Allah ini seharusnya membuat kita tergiur untuk mendapatkannya. Jika kita masih belum tertarik dengan tawaran surga, tawaran apalagi yang lebih menarik darinya? Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. 
Ikhtisar:
  1. Jiwa dan harta yang dikorbankan kaum Mukmin ketika berjihad di jalan-Nya ‘dibeli’ Allah dengan surga
  2. Allah pasti memenuhi semua janji-Nya

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Antara Khuluq dan Khalq

Kata khuluq berarti suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.

Mendoakan Orang Lain

Seperti biasa, pada sepertiga malam terakhir, Sayyidah Fathimah — putri kesayangan Rasulullah saw senantiasa melaksanakan shalat tahajud di rumahnya. Terkadang, ia menghabiskan malam-malamnya dengan qiamu lail dan doa . Hasan bin Ali, putranya, sering mendengar munajat sang bunda.