Kata khuluq
berarti suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa
seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu
dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau
direncanakan sebelumnya.
Maka
apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan-perbuatan yang baik dan
yang terpuji menurut akal sehat dan syariat, dapatlah ia disebut sbagai
perangai atau khuluq yang baik. Dan sebaliknya, apabila yang timbul darinya adalah perbuatan-perbuatan yang buruk, maka ia disebut sebagai khuluq yang buruk pula.
Kami menyebutnya sebagai perangai
atau watak yang menetap kuat dalam jiwa, karena seseorang yang jarang
atau hanya sesekali saja menyumbangkan hartanya untuk keperluan
tertentu, tidak dapat disebut sebagai seorang yang berwatak dermawan.
Yaitu sepanjang hal itu tidak merupakan sesuatu yang menetap kuat dalam
jiwanya.
Karena
itu kami mempersyaratkan bahwa ia harus merupakan sumber timbulnya
perbuatan-perbuatan tertentu secara mudah dan ringan, tanpa harus
dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Sebab, barangsiapa – ketika
menyumbangkan hartanya - atau – ketika menahan amarah hatinya –
melakukan semua itu dengan berat hati atau dengan susah payah, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa orang itu berwatak dermawan atau pema’af.
Oleh sebab itu, haruslah dipenuhi 4 persyaratan;
1. Adanya perbuatan yang baik dan yang buruk.
2. Adanya kemampuan untuk melakukan kedua-duanya.
3. Penjgetahuan seseorang tentang kedua-duanya.
4.
Adanya sesuatu dalam jiwa, yang membuatnya cenderung kepada salah satu
dari kedua-duanya, serta dengan mudah dapat dikerjakan: yang baik atau
yang buruk.
Jelas bahwa suatu khuluq (perangai, watak,
tabiat) tidaklah identik dengan perbuatan. Sebab, adakalanya seseorang
berwatak dermawan namun ia tidak menyumbangkan sesuatu. Baik karena ia
tidak memiliki sesuatu ataupun karena adanya hambatan lainnya.
Sebaliknya, adakalanya ia berwatak kikir namun ia menyumbang, baik
karena terdorong oleh sesuatu kepentingan dirinya ataupun karena ingin
di puji.
Ia
tidak juga identik dengan kemampuan (atau kuasa diri). Sebab, kaitan
kemampuan seseorang dalam hal memberi atau tidak memberi, adalah sama
saja. Setiap orang - secara naluriah – memiliki kemampuan atau kuasa
untuk memberi ataupun tidak. Dan hal itu tidak mengharuskan adanya watak
kekikiran ataupun kedermawanan dalam dirinya.
Ia
juga tidak identik dengan pengetahuan tentang sesuatu. Sebab,
pengetahuan berkaitan dengan yang baik maupun yang buruk. Kedua-duanya
sama saja. Yang benar adalah bahwa apa yang disebut perangai atau watak
(khuluq) ialah sesuatu yang dengannya jiwa manusia memiliki kesiapan
bagi timbulnya kedermawanan ataupun kekikiran. Dengan kata lain, ia
adalah bentuk atau rupa bathiniah dari jiwa seseorang.
Khuluq
(kata tunggal dari akhlaq) dan khalq (yakni bentuk ciptaan atau fisik)
adalah dua kata yang sering di gunakan bersama-sama. Orang biasa
mengatakan: “Si Fulan adalah orang yang baik, khuluq-nya maupun khalq-nya.” Artinya, ia adalah seorang yang baik lahir dan bathin.
Jadi yang di maksud dengan khalq
adalah bentuk lahiriah, sedangkan yang di maksud dengan khuluq adalah
sifat bathiniah. Hal ini mengingat bahwa manusia terdiri atas tubuh yang
di lihat dan di cerap oleh penglihatan mata (bashar), dan ruh (atau
jiwa) yang hanya dapat di cerap oleh penglihatan bathin (bashirah). Dan
masing-masing dari keduanya, mempunyai bentuk atau rupa, adakalanya
buruk dan adakalanya baik.
Tentunya,
ruh atau jiwa yang (hanya) dapat di cerap oleh bashirah (penglihatan
bathin) lebih tinggi derajatnya daripada tubuh yang dapat di cerap oleh
bashar (penglihatan mata). Karena itulah Allah SWT memuliakan ruh dengan menisbahkannya kepada diri-Nya, seperti dalam firman-Nya:
“Innii khaaliqun basyaran min thiinin fa-idzaa sawwaituhu wa nafakhtu fiihi min ruukhii faqa’uulahu saajidiin.”
Artinya: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia
dari tanah. Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku
tiupkan padanya ruh-Ku, maka hendaklah kamu segera sujud kepadanya.” (Q.
Shad: 71 -72).
Dalam firman-Nya itu, di tegaskan bahwa tubuh di nisbahkan kepada tanah,
sedangkan ruh di nisbahkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam! Adapun
yang di maksud dengan ruh dan nafs (jiwa) dalam ungkapan seperti ini,
adalah sama saja.
(Sumber: Tahdzib Al-Akhlaq Wa Mu'alajat Amradh Al-qulub).
Comments
Post a Comment