Setelah sekian lama menabung, mengumpulkan lembar demi lembar rupiah
dari hasil berjualan, terkumpullah dalam tabungan Pak Ahmad sejumlah
uang yang cukup untuk membayar ongkos naik haji (ONH). Impian sejak muda
untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci sebentar lagi akan terwujud.
Doa-doa yang senantiasa terucap selepas shalat taklama lagi akan
menjadi kenyataan.
Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah penjual es yang harus
bekerja ekstrakeras agar bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk
berhaji. Kuatnya keinginan Pak Ahmad untuk berhaji menjadikan dia mampu
berdisiplin menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabungkan.
Sebenarnya, ada sedikit rasa "tidak enak" dalam hati Pak Ahmad. Uang
yang dikumpulkannya itu hanya cukup untuk melunasi ONH untuk dirinya
sendiri, tidak untuk istrinya. Padahal, uang itu terkumpul karena
bantuan istrinya juga.
"Tidak apalah, mudah-mudahan Allah memberikan rezeki sehingga istrinya
bisa kebagian jatah haji pada tahun-tahun berikutnya," begitu pikiran
Pak Ahmad.
Satu hari menjelang pendaftaran, salah seorang
tetang-ganya datang ke rumah untuk meminjam sejumlah uang untuk membayar
biaya rumah sakit. Tetangga Pak Ahmad ini terbilang orang susah, untuk
makan sehari-hari saja, dia kelimpungan.
Kesulitannya semakin bertambah ketika suaminya terkena sakit parah dan
mau tidak mau dia harus menyelamatkan nyawanya dengan memasukkannya ke
rumah sakit. Itu pun di kelas III yang hampir semua penghuninya kaum
duafa. Setelah berusaha ke sana-kemari meminjam uang, hasilnya nihil,
lalu ibu ini memberanikan diri datang ke rumah Pak Ahmad untuk meminjam
uang.
Pak Ahmad pun dihadapkan pada pilihan sulit: meminjamkan uang dan
cita-citanya untuk berhaji akan kandas di tengah jalan atau tidak
meminjamkan uang dan membuat penderitaan tetangganya bertambah panjang.
Setelah berdiskusi dengan istrinya, Pak Ahmad memilih jalan ketiga.
Dia tidak meminjamkan uang dan tidak pula menahannya, tetapi memberikan
seluruh uang hajinya untuk membayar biaya rumah sakit tetangganya.
Sebuah pilihan yang sangat berat dan berani serta tidak masuk akal dalam
pandangan kaum materialis.
Bayangkan saja, bertahun-tahun menabung, peras keringat banting tulang
mengumpulkan uang, ketika uang sudah terkumpul, dia memberikannya begitu
saja kepada orang lain. Namun, amal kebaikan sering sekali tak bisa
diukur dengan logika kebanyakan orang.
Sebagaimana tak masuk logikanya Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih
anaknya atau "keanehan" sikap para sahabat yang rela meninggalkan tanah
kelahirannya, sanak saudara, dan harta kekayaannya demi berhijrah ke
Madinah walau harus melalui perjalanan yang sangat berat. Itulah buah
keimanan yang teramat tinggi nilainya yang sulit dicerna oleh
orang-orang yang matanya sudah silau dengan dunia.
Pak Ahmad dan istrinya sangat yakin bahwa Allah tidak akan pernah
menyia-nyiakan amal kebaikan hamba-hamba-Nya. Bukankah Allah dan
Rasul-Nya telah berjanji, "Barang siapa yang meringankan beban
saudaranya di dunia, niscaya Allah akan meringankan bebannya di
akhirat."
Kemampuan memilih prioritas amal yang disertai keyakinan yang mantap
terhadap janji Allah telah menguatkan hati Pak Ahmad untuk memberikan
hartanya yang paling berharga.
Disertai derai air mata sedih campur bahagia, tetangga Pak Ahmad
menerima uang itu. Dia seakan tengah bermimpi, ternyata pada zaman
sekarang masih ada orang yang berhati mulia seperti Pak Ahmad dan
istrinya. Dia tak mampu berkata apa-apa selain ucapan terima kasih dan
doa semoga Allah mengganti uang tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.
Kisah pun berlanjut. Seorang dokter yang menangani operasi Pak Fulan,
tetangga Pak Ahmad, sedikit kaget. Kok bisa pasien seperti Pak Fulan
bisa membayar biaya operasi yang termasuk mahal, bahkan sangat muaaahal
bagi sebagian orang. Padahal, dokter itu sudah bisa menebak latar
belakang Pak Fulan. Iseng-iseng dia bertanya dari mana Pak Fulan
mendapatkan uang, apakah dia menjual warisan, menjual ramah, meminjam,
atau apa?
"Sama sekali bukan Dok, kami ini orang miskin, tidak punya apa-apa.
Jangankan membayar biaya rumah sakit yang puluhan juta, untuk makan
sehari-hari pun harus gali lobang tutup lobang," jawab Pak Fulan.
"Lho, kalau begitu dari mana?"
"Alhamdulillah, ada seseorang yang membayarkan biaya operasi kami."
Dokter itu makin penasaran, "Wah hebat benar orang itu. Pastilah dia orang kaya yang sangat dermawan."
"Oh.... Tidak Dok, dia orang biasa-biasa," Pak Fulan kemudi-an
menceritakan kisah Pak Ahmad yang rela menunda ibadah haji demi
meringankan beban penderitaan dirinya yang sekadar seorang tetangga.
Selesai Pak Fulan bercerita, Dokter itu langsung meminta izin untuk
diperkenalkan dengan Pak Ahmad. Dia ingin tahu lebih jauh tentang siapa
Pak Ahmad itu sebenarnya. Allah pun mempertemukan mereka.
Kepada Pak Ahmad dan istrinya, Dokter ini berkata, "Saya ingin belajar
ikhlas seperti yang Ibu-Bapak lakukan. Akan tetapi, bukan di sini, saya
ingin belajarnya di Tanah Suci. Jadi, saya dan keluarga akan mengajak
serta Ibu dan Bapak pergi ke sana tahun ini."
Mata Pak Ahmad tampak berkaca-kaca. Sejenak, dia tidak bisa berkata-apa.
Dia seakan tidak percaya dengan kata-kata yang didengarnya. Hingga
akhirnya, ucapan hamdalah terucap dari bibirnya.
Begitulah, sebelum membalas kebaikannya di akhirat, Allah Swt. telah
memberikan DP-nya terlebih dahulu di dunia. Harapan Pak Ahmad untuk
berhaji dengan istrinya akhirnya terlaksana dalam keadaan yang penuh
bahagia.
Jadikanlah dirimu sebagai tolok ukur dari selainmu. Berbuatlah sesuatu yang menggembirakan orang lain sebagaimana yang engkau inginkan mereka berbuat untukmu.
Janganlah berbuat sesuatu yang engkau tidak ingin orang lain berbuat hal itu kepadamu.
Janganlah berbuat aniaya sebagaimana engkau tidak suka dianiaya.
Berbuat baiklah kepada selainmu sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat baik kepadamu. Cegahlah dirimu dari perbuatan mungkar sebagaimana engkau tidak ingin orang lain berbuat itu kepadamu.
Berbuatlah sesuatu yang menyenangkan orang lain agar dia juga berbuat sesuatu yang menyenangkan dirimu. (Rasulullah saw.)
Comments
Post a Comment