Hari itu ada seseorang yang meninggal dunia. Seperti biasanya, jika ada
sahabat meninggal dunia, Rasulullah pasti menyempatkan diri mengantarkan
jenazahnya sampai ke kuburan.
Tidak cukup sampai di situ, pada saat pulangnya, Rasulullah menyempatkan
diri singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga yang ditinggalkan
supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musbah itu. Begitupun
terhadap keluarga sahabat yang satu ini.
Sesampai di rumah duka, Rasulullah bertanya kepada istri almarhum,
“Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat ataulah sesuatu sebelum ia
wafat?”
Sang istri yang masih diliputi kesedihan hanya tertunduk. Isak tangis
masih sesekali terdengar dari dirinya. “Aku mendengar ia mengatakan
sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah
menjelang ajal, ya Rasulullah.”
“Aku tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, aku tidak mengerti apakah
ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih
karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami
lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”
“Bagaimana bunyinya?” tanya Rasulullah lagi.
Istri yang setia itu menjawab, “Suamiku mengatakan ‘Andaikata lebih
panjang lagi..., Andaikata yang masih baru ..., Andaikata semuanya ...’.
Hanya itulah yang tertangkap sehingga aku dan keluargaku bingung
dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan
tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai”
Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah itu membuat istri almarhum
sahabat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara,
“Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru.” Beliau diam
sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah aku ceritakan kepada
kalian agar tak lagi heran dan bingung.”
Sekarang, bukan hanya istri almarhum saja yang menghadapi Rasulullah.
Semua keluarga almarhum mengerubungi Rasul akhir zaman itu. Ingin
mendengar apa gerangan sebenarnya yang terjadi.
“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai.
“Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan
shalat Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa dengan dengan orang buta yang
bertujuan sama—hendak pergi ke masjid pula. Si buta itu sendirian
tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan
telatennya, suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala
hendak menghembuskan nafas yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal
shalihnya itu. Lalu ia pun berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’
Maksudnya adalah andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti
pahalanya akan jauh lebih besar pula.”
Semua anggota keluarga itu sekarang mengangguk-angguk kepalanya. Mulai
mengerti sebagian duduk perkara. “Terus, ucapan yang lainnya, ya
Rasulullah?” tanya sang istri yang semakin penasaran saja.
Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala ia
melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu
ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali untuk shalat Subuh, cuaca dingin
sekali. Di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk
menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suaminya membawa sebuah
mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia pun mencopot mantelnya yang
lama yang tengah dikenakannya dan diberikan kepada si lelaki tua itu.
Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal
kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Coba, andaikata
yang masih baru yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang
lama yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi.’
Itulah yang dikatakan suami selengkapnya.”
“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa maksudnya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi.
Dengan penuh kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingkatkah engkau ketika
pada suatu waktu suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta
disediakan makanan? Ketika itu engkau segera menghidangkan sepotong roti
yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, tatkala hendak
dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta
makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah
diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu
akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu.
Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini
hasilnya, musafir itu tidak akan kuberi hanya separuh. Sebab, andaikata
semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda
pula.’”
Sekarang, semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan
apa yang telah terjadi kepada suami dan ayah mereka ketika akan
menjelang wafatnya. Kelapangan telah ia dapatkan karena ia tidak
sungkan untuk menolong dan memberi.
Comments
Post a Comment